salama'ki muttama ri blogku sappo'....aja mua tapaja mallolisu

Tuesday, January 5, 2010

Adat Dan Kebudayaan Suku Bugis

Adat Dan Kebudayaan Suku Bugis

Suku Bugis atau to Ugi‘ adalah salah satu suku di antara sekian banyak suku di Indonesia. Mereka bermukim di Pulau Sulawesi bagian selatan. Namun dalam perkembangannya, saat ini komunitas Bugis telah menyebar luas ke seluruh Nusantara.

Penyebaran Suku Bugis di seluruh Tanah Air disebabkan oleh mata pencaharian orang–orang bugis zaman dahulu umumnya adalah nelayan dan pedagang. Sebagian dari mereka yang lebih suka merantau(sompe‘) adalah berdagang dan berusaha di negeri orang lain. Hal lain juga disebabkan adanya faktor historis orang-orang Bugis itu sendiri di masa lalu.
Orang Bugis zaman dulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” (manurung) atau dari “dunia bawah” yang “naik” (tompo) untuk membawa norma dan aturan sosial ke bumi (Pelras, The Bugis, 2006).
Umumnya orang-orang Bugis sangat meyakini akan hal to manurung, tidak terjadi banyak perbedaan pendapat tentang sejarah ini. Sehingga setiap orang yang merupakan etnik Bugis, tentu mengetahui asal-usul keberadaan komunitasnya. Kata “Bugis” berasal dari kata to ugi, yang berarti orang Bugis.
Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Cina (bukan negara Cina, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini) yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We‘ Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu‘, ayahanda dari Sawerigading.
Sawerigading sendiri adalah suami dari We‘ Cudai dan melahirkan beberapa anak, termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar. Sawerigading Opunna Ware‘ (Yang Dipertuan Di Ware) adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo, dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton Peradaban awal orang–orang Bugis banyak dipengaruhi juga oleh kehidupan tokoh-tokohnya yang hidup di masa itu, dan diceritakan dalam karya sastra terbesar di dunia yang termuat di dalam La Galigo atau sure‘ galigo dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio dan juga tulisan yang berkaitan dengan silsilah keluarga bangsawan, daerah kerajaan, catatan harian, dan catatan lain baik yang berhubungan adat (ade‘) dan kebudayaan–kebudayaan di masa itu yang tertuang dalam Lontara‘. Tokoh–tokoh yang diceritakan dalam La Galigo, di antaranya ialah Sawerigading, We‘ Opu Sengngeng (Ibu Sawerigading), We‘ Tenriabeng (Ibu We‘ Cudai), We‘ Cudai (Istri Sawerigading), dan La Galigo(Anak Sawerigading dan We‘ Cudai).
Tokoh–tokoh inilah yang diceritakan dalam Sure‘ Galigo sebagai pembentukan awal peradaban Bugis pada umumnya. Sedangkan di dalam Lontara‘ itu berisi silsilah keluarga bangsawan dan keturunan–keturunannya, serta nasihat–nasihat bijak sebagai penuntun orang-orang bugis dalam mengarungi kehidupan ini. Isinya lebih cenderung pada pesan yang mengatur norma sosial, bagaimana berhubungan dengan sesama baik yang berlaku pada masyarakat setempat maupun bila orang Bugis pergi merantau di negeri orang.
Konsep Ade‘ (Adat) dan Spiritualitas (Agama)
Konsep ade‘ (adat) merupakan tema sentral dalam teks–teks hukum dan sejarah orang Bugis. Namun, istilah ade‘ itu hanyalah pengganti istilah–istilah lama yang terdapat di dalam teks-teks zaman pra-Islam, kontrak-kontrak sosial, serta perjanjian yang berasal dari zaman itu. Masyarakat tradisional Bugis mengacu kepada konsep pang‘ade‘reng atau “adat istiadat”, berupa serangkaian norma yang terkait antara satu sama lain.
Selain konsep ade‘ secara umum yang terdapat di dalam konsep pang‘ade‘reng, terdapat pula bicara (norma hukum), rapang (norma keteladanan dalam kehidupan bermasyarakat), wari‘ (norma yang mengatur stratifikasi masyarakat), dan sara‘ (syariat Islam) (Mattulada, Kebudayaan Bugis Makassar : 275-7; La Toa). Tokoh-tokoh yang dikenal oleh masyarakat Bugis seperti Sawerigading, We‘ Cudai, La Galigo, We‘ Tenriabeng, We‘ Opu Sengngeng, dan lain-lain merupakan tokoh–tokoh yang hidup di zaman pra-Islam.
Tokoh–tokoh tersebut diyakini memiliki hubungan yang sangat erat dengan dewa–dewa di kayangan. Bahkan diceritakan dalam La Galigo bahwa saudara kembar dari Sawerigading yaitu We‘ Tenriabeng menjadi penguasa di kayangan. Sehingga konsep ade‘ (adat) serta kontrak-kontrak sosial, serta spiritualitas yang terjadi di kala itu mengacu kepada kehidupan dewa-dewa yang diyakini. Adanya upacara-upacara penyajian kepada leluhur, sesaji pada penguasa laut, sesaji pada pohon yang dianggap keramat, dan kepada roh-roh setempat menunjukkan bahwa apa yang diyakini oleh masyarakat tradisional Bugis di masa itu memang masih menganut kepercayaan pendahulu-pendahulu mereka.
Namun, setelah diterimanya Islam dalam masyarakat Bugis, banyak terjadi perubahan–perubahan terutama pada tingkat ade‘ (adat) dan spiritualitas. Upacara–upacara penyajian, kepercayaan akan roh-roh, pohon yang dikeramatkan hampir sebagian besar tidak lagi melaksanakannya karena bertentangan dengan pengamalan hukum Islam. Pengaruh Islam ini sangat kuat dalam budaya masyarakat bugis, bahkan turun-temurun orang–orang bugis hingga saat ini semua menganut agama Islam.
Pengamalan ajaran Islam oleh mayoritas masyarakat Bugis menganut pada paham mazhab Syafi‘i, serta adat istiadat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan syariat Islam itu sendiri.
 (Sumber : id.wikipedia.org/wiki/Suku_Bugis).

Friday, January 1, 2010

Peri Bahasa Bugis
1. Pura babbara' sompekku, pura tangkisi' golikku, ulebbirenni tellenngé Nato'walié.
(Layarku sudah terkembang, kemudiku sudah terpasang, lebih baik tenggelam daripada kembali).



2. Le'ba kusoronna biseangku, kucampa'na sombalakku, tamassaile punna teai labuang
(Bila perahu telah kudorong,layar telah terkembang, takkan ku berpaling kalau bukan labuhan yang kutuju.)
3. Ku alleangi tallanga na toalia (Makassar)
(Lebih baik tenggelam dari pada kembali)
Makna: Ketetapan hati kepada sebuah tujuan yang mulia dengan taruhan nyawa.
4. Eja pi nikana doang (Makassar)
(Seseorang boleh dikenali berdasarkan kebolehannya atau perbuatannya)
5. Teai mangkasara' punna bokona loko' (Makassar)
(Bukanlah orang Makassar kalau yang luka di belakang.)
Ini adalah kata2 semangat simbol keberanian agar tidak lari dari masalah apapun yang dihadapi.
6. Taro ada taro gau (Bugis)
( Konsistensi perbuatan dengan apa yang telah dikatakan. )
7. Ininnawa mitu denre sisappa, sipudoko, sirampe teppaja
(Hanya budi baik yang akan saling mencari, saling menjaga, dalam kenangan tanpa akhirmya).


Saturday, November 28, 2009

ADA-ADA PAPASENG (KATA2 NASIHAT)

ADA ADA FAPPASENG

1.Dua kuala sappo, unganna panasae,Sibawa belona kanukue
(Dua kujadikan pagar, bunga nangka, hiasan kuku.)


2.Atutuiwi anngolona atimmu; aja' muamminasaiyangngi ri ja'e padammu rupa tau, nasaba' mattentui iko matti' nareweki ja'na apa' riturungenngi ritu gau' madecennge riati maja'e nade'sa nariturungeng ati madecennge ri gau' maja'e. Naiya tau maja' kaleng atie lettu' rimonri ja'na.
(Jagalah arah hatimu; jangan menghajatkan yang buruk kepada sesamamu manusia, sebab pasti engkau kelak akan menerima akibatnya, karena perbuatan baik terpengaruh oleh perbuatan buruk. Orang yang beritikad buruk akibatnya akan sampai pada keturunannya keburukan itu.)

3. Makkedatopi Arung Bila, eppa tanrana tomadeceng kalawing ati, seuani, passu'i ada napatuju, maduanna, matuoi ada nasitinaja, matellunna duppai ada napasau, maeppa'na, moloi ada napadapi.
(Berkata pula Arung(bangsawan)Bila, ada empat tanda orang baik bawaan hatinya. Pertama,mengucapkan kata yang benar. Kedua, menyebutkan kata yang sewajarnya. Ketiga, menjawab dengan kata yang berwibawa. Keempat, melaksanakan kata dan mencapai sasarannya.)

4.Naiyya riasenge Funggawa,Maccai Na Malempu, Waraniwi Na Magetteng( yang dikatakanemimpin adalah; orang yang Jujur,Berani dan Teguh dalam Pendirian )

5.Naiyya riasennge maradeka, tellumi pannessai:
Seuani, tenrilawai ri olona.
Maduanna, tenriangkai' riada-adanna.
Matellunna, tenri yatteanngi lao ma-niang, lao manorang, lao orai, lao alau,lao ri ase, lao ri awa.
(Yang disebut merdeka (bebas) hanya tiga hal yang menentukannya: pertama, tidak dihalangi kehendaknya; kedua, tidak dilarang mengeluarkan pendapat;ketiga, Tidak dilarang ke Selatan, ke Utara, Ke Barat, ke Timur, ke atas dan ke bawah. Itulah hak-hak kebebasan. )

6.Rusa taro arung, tenrusa taro ade,
Rusa taro ade, tenrusa taro anang,
Rusa taro anang, tenrusa taro tomaega.
(Batal ketetapan raja, tidak batal ketetapan adat, Batal ketetapan adat, tidak batal ketetapan kaum, Batal ketetapan kaum, tidak batal ketetapan orang banyak)

Thursday, November 12, 2009

MUTIARA KATA BUGIS

MUTIARA KATA
Sadda, mappabati Ada,
Ada mappabati Gau, Gau mappabati Tau, Tau sipakatau
Mappaddupa Nasaba Engkai Siri’ta nennia Pessee ta, Nassibawai
Wawang ati mapaccing, lempu, getteng, warani, reso, amaccangeng,
tenricau, maradeka nennia assimellereng
Makkatenni Masse ri Panngaderengn na Mappasanre ri elo ullena
Alla Taala.

Maksudnya :
Bunyi mewujudkan kata,Kata mewujudkan Perbuatan,Perbuatan Mewujudkan Manusia,Manusia Memanusiakan Manusia, Membuktikan di Dunia Realiti kerana
Kita Memiliki perasaan malu dan teladan ( pengaruh) disertai dengan
Kesucian hati, kejujuran, keteguhan, keberanian, kegigihan dan ketekunan, kecerdasan minda,daya saing yang tinggi, kemerdekaan, Berpegang teguh pada adat dan tradisi
serta bertawakal kepada Kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa.


Toddo Puli Temmalara ri Wawang,Ati Mapaccinnge Nassibawai Alempureng.
Teguh tak Tergoyahkan pada Hati yang Suci-bersih disertai dengan Kejujuran
Sirebba tannga tessirebba pasorong, Padaidi pada elo, sipatuo sipatakkong
Siwata menre, tessirui nonno.
Kita saling mengulurkan tangan ketika hanyut,Kita saling menghidupkan karena kita seia sekata,Saling mengangkat dantak saling menjatuhkan
Berbeda pendapat,tetapi tidak menyebabkan persengketaan.

Resopa natinulu kuae topa temmanginngi malomo naletei pammase Dewata
usaha yang gigih dan kerja keras disertai dengan ketekunan sering menjadi titian rahmat Ilahi.

Thursday, November 5, 2009

Lontara Bugis-Makassar

Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik. Itu dikarenakan epos la galigo di tulis menggunakan huruf lontara. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat makassar dan masyarakat luwu. Yah dahulu kala para penyair-penyair bugis menuangkan fikiran dan hatinya di atas daun lontara dan dihiasi dengan huruf-huruf yang begitu cantik sehingga tersusun kata yang apik diatas daun lontara dan karya-karya itu bernama I La Galigo.
Jujur sampai dengan sekarang masyarakat bugis – makassar sendiri banyak yang tidak memahami lontara. Mungkin ini salah salah satu ciri bahwa kebudayaan Bugis-Makassar sudah mulai di kikis oleh kebudayaan-kebudayaan barat yang bagaikan virus ganas menyebar di negara kita.